Kamis, 19 Maret 2009

MERAJUT ASA DITENGAH PUTUS ASA

Orang yang benar akan akan hidup oleh percayanya”

(Habakuk 2: 4)

Coba simak sebentar penuturan sang sopir angkot ini, “Hidup semakin ruwet..! Tinggi sekali setoran sehari, sementara BBM naik ngeri, penumpang jadi sepi, sedangkan sembako melompat tak peduli, tak ada harapan akhirnya diterima anak istri.” Kurang lebihnya seperti itulah penuturan dari sang sopir yang saya naiki…. Maksud saya angkotnya yang pernah saya naiki. Ekspresi sedih tanpa harapan bapak sopir tadi mungkin cocok menyuarkan batin banyak orang di jaman ini. Tatanan ekonomi nan ambruk, teriakan supaya nasib didengar …toh malah digubris dengan korupsi. Ruwet dan ribet pokoknya…!

Ruwet dan ribetnya jaman toh tidak bisa kita elak. Apakah saudara dan saya akan transmigrasi ke planet Mars? Kan tidak!, ongkos angkot ke Malang aja mahal, apalagi angkot ke Mars. Kita mau nggak mau hidup dalam jaman ini, beli beras di Bu beni, dan naik angkotnya pak Supri, yang nota bene-nya semakin hari semakin mahal, sementara penghasilan kita pas-pasan. Putus asa dan hilang harap mungkin yang tengah terjadi saat-saat ini. Kondisi tidak menyenangkan yang harus kita hadapi, dimana kita hidup. Lalu apakah kita akan larut dalam jaman putus asa ini? “TIDAK” itu jawabannya, lalu bagaimana?

Menyimak pergumulan nabi Habakuk akan menuntun kita menjawab pertanyaan di atas? Jaman yang di diami habakuk begitu ruwet, penindasan, kekerasan dan tanpa perasaan terjadi. Habakuk pernah mengeluh, “Berapa lama lagi aku berteriak, TUHAN, tetapi tidak Kau dengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan! Tetapi tidak Kau tolong? (Hab. 1: 2). Rentetan cobaan yang di alami Habakuk dan bangsanya, mau nggak mau menyeret dalam putus asa dan memuntahkan keluhan tadi. Habakuk hidup benar, namun mengapa penindasan dari bangsa Kasdim nan kafir justru di persilahkan Allah?

Lebih lanjut, apakah sebenarnya Allah bungkam mulut seperti keluhan Habakuk? Diam diri saat saya dan anda berteriak-teriak kepada-Nya? TIDAK. Kalau TIDAK mengapa allah sepertinya berdiam diri? Nubuatan yang didengar Habakuk, pasti terjadi, itu artinya Allah mengijinkan ujian tersebut harus hadir, Tapi toh hal itu pun bukanlah tanpa maksud. Ujian terjadi, namun pernyertaan Allah tetap.

Allah sedang mengajar Habakuk dan umat lain untuk bergantung total pada-Nya dan bukanya bergantung pada kekuatan mereka. Kenapa kita disebut orang benar? Karena kita percaya pada kebenaran. Kebenaran itu adalah Allah yang membenarkan kita sehingga kita disebut orang benar. Kita benar bukan karena kita benar, tapi dibenarkan. Kita harus senantiasa bergantung kepada yang membenarkan kita, yaitu Allah. Pemahaman ini akan menuntun kita untuk menyingkapi segala kondisi dalam perspektif Allah dan bukan prsepktif manusia lemah kita. Bila kita memahami dalam pemahaman Allah, kita tetap mampu merajut asa meski dunia putus asa. Di babak akhir, Habakuk berseru, “sekalipun pohon ara tidak berbuah dan hasil zaitun mengecewakan, aku tetap beria-ria di dalam Tuhan. (Hab 3: 18). Allah punya rencana tersendiri
untuk kita, mari kita bepegang pada-Nya selalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar