Kamis, 30 April 2009

Sisa Langkah.....

Temaram menyusul langkah dingin malam,
Saat kebisuan merajut kata bersama kesunyian
Hanya hasutan penat jiwa nan bersemayam
Dalam jiwa nan terpasung dada resah.
Harapan bergelut bersama kata-kata

Bersama langkah waktu
Jiwa menapak memahat hari
Di sini...
Di batas malam kuingin berhenti
Tanggalkan jejak sesah
Rebahkan harapan lelah

Adakah batas bagi jiwa?
Adakah langkah akhir bagi hidup?
Adakah ujung jalan bagi langkah waktu?
Dan adakah Jeruji bagi hari?

Bila tanpa batas...
Kenapa ku harus lanjutkan langkah
Bila tanpa akhir...
Mustikah kulanjutkan perjalanan jiwa
Mengembara bersama sayap angin
Menyeret hidup di jalan usang...

Di batas waktu, pada waktu tanpa batas
Ku berdiri menantang langit...
Ku berdiri di atas jejak usang...
Jejak waktu di atas debu.......
Jejak bisu
Dimana aku ingin hentikan langkah
Dimana aku tak mampu berhenti

Senin, 27 April 2009

Batas

Dimanakah ujung langit bersembunyi
Berada di tempat mana kaki bumi berpijak
Bila timur sebenarnya hanya barat
Dan ujung utara hanya membelakangi selatan sana
Dimanakah batas?

Dan dimana jeruji waktu dipasakkan?
Bukankah semua tanpa batas?
Siapa akan memaksa menghentikan langkah?
Siapa yang menentukan arah?
Dan menghentikan hari dengan langkah kita?

Tanpa jawab, usai di sini
Tak berhenti, namun tak segera berlalu
Hanya waktu yang simpan jawaban
Namun waktu selalu bisu
Dia hanya punya diam kelam

Jalan tanpa arah, ujung tanpa penghujung
Hanya debu sekarat yang terpaku langkah usai
Kemana raga lelah kan berhenti
Dan dimana jiwa sesah menyandarkan diri
Di relung dalam sana

Dalam ke dalaman raga jiwa bersembunyi
Lubuk batin nurani diri berdiam
Di sanalah tanpa akhir kata jiwa berkata
Di lubuk sana batas lenyap
Memandang jauh tanpa seutas batas
Di sana kan terjawab.

Sabtu, 04 April 2009

Renungan di Bukti Tua
Bocah kecil yang menemani di hari tuaku itu nampak masuk akal bila menjadi cucuku. Namun ternyata dia adalah anaku sendiri yang keluar dari benihku. Sungguh kontras, kakek tua seperti diriku yang sudah beruban, yang terbalut kulit keriput, mataku sudah cekung dan otot-otot keras yang pernah mengelilingi tulangku, kini sudah kendor, yang ada hanyalah sosok seorang tua pada diriku. Namun anak yang seringkali manja di pangkuanku itu, dia seorang bocah yang kemerahan, sinar matanya lembut, senyum ceria anak kecil yang seringkali merekah begitu saja di bibirnya, dia betul-betul masih anak kecil yang polos, yang terkadang melakukan sesuatu tanpa tahu artinya, dia anak yang masih ingusan. Si kakek tua dan si anak kecil ingusan itu, adalah ayah dan anak, dia adalah aku Abraham dan Ishak anakku


Diriku sudah tidak peduli akan keadaanku yang sudah renta ini, Aku sadar mungkin setiap kali kugendong Ishak, orang banyak akan tersenyum keheranan dengan mereka. “Lihatlah si kakek dan cucu, yag ternyata adalah pasangan bapak dan anak.” Aku sekali lagi tak peduli, yang ada dalam benakku terdalam hanya perasaan bahagia, ada sinar kebanggaan seorang ayah yang terpancar dalam diriku apabila bersama anak kecil itu. Anak itu anak perjanjian, anugerah besar yang ku terima langsung dari Allah. Rasa syukur bercampur haru, heran bercampur kagum, kebanggaan dan kekaguman kepada Allah senantiasa terpancar bila aku memandang si kecil Ishak. Bocah ini, senantiasa mengingatkan diriku akan perjalanan panjang iman yang kutempuh. Untuk menimang bocah kecil ini, berapa ribu mil yang harus aku tempuh. Untuk bocah ini berapa banyak sudah tetesan air mata yang bercampur putus asa merobek batinku. Terkadang aku menyerah dan mengambil jalan pintas, namun sang putra perjanjian belum hadir. Sungguh telah kutunggu jabang bayi ini berpuluh-puluh tahun (Kejadian 18-20).

Ketika bocah itu di dekapanku, seribu harapan terbesit di dadaku. Hatiku berjanji, tak seincipun dari kulitmu yang akan tersentuh oleh apa pun yang membahayakanmu. “Apabila boleh memilih nyawaku lebih baik sebagai taruhan sendiri untuk melindungimu,” hatiku senantiasa mengungkap itu bila dia bersama sang anak kesayangan. Usianya renta bagiku sudah tidak berarti lagi bila di banding dengan bocah ini, seribu harapan kugantungkan dalam diri Ishak, sang putra tunggalku. Dia pewaris keluarga besarku, dinastiku.

Hari berlalu, kudapati diriku semakin menua, namun sang bocah kini bertumbuh remaja. Hari-hari bahagia yang kami pahat kini nampaknya akan segera sirna memudar, kebahagiaan itu akan segera terenggut. Si setan jahatkah yang merancangnya? Atau mungkin ketidaksenangan para lawan sainganku? Tidak....! Kebahagiaan tersebut justru akan terenggut oleh tangan DIA sendiri yang pernah memahat si anak itu dalam rahim ibunya, Sara. Allah yang menjanjikan sang anak kecil kepadaku, kini berhadapan dengan ku untuk meminta si anak itu menjadi korban untuk Dia. Apakah Dia sedang cemburu kepadaku karena hari-hariku kini terlewatkan untuk si anak kesayangan itu? Lupakah sudah aku membakar korban untuk-NYA, sehingga Allah harus meminta korban dari ku.? Ataukah Allah hanya sekedar mempermainkan hatiku? Satu hal yang Allah mau dari diriku adalah “kesetiaan.” Namun masuk akalkah dan terlebih apakah masuk hati niata-NYA tersebut? Apakah DIA lupa berapa ribu mil perjalanan yang harus kutempuh bersama istri dan anak buahku, bukankah itu tiada lain adalah kesetiaan...?. Berapa waktu yang sudah kuberikan untuk melayani Dia, berapa banyak air mata yang sudah mengalir di pipi tuaku ini dan berapa sudah kekhawatiran yang telah berkecamuk dalam hatiku, itu semua untuk menuruti perintah, untuk sebuah kesetiaan. Kini hatiku tengah berada ujung tebing iman, rasanya aku siap meluncur menjatuhkan diri dalam ketidaktaatan.

Apakah sebuah keadilan bila sang anak yang ku dapatkan setelah melalui berbagai kesulitan, kini direnggut? Apakah Allah berbelas kasih apabila dengan tega menuntut kembali sang anak untuk jadi korban? Apakah ini dapat dikatakan sebagai ketaatan apabila yang Dia mau adalah pengingkaran terhadap janji yang pernah diberi? Gemuruh pertanyaan itu meyeruak di malam sunyi tatkala kakiku gemetaran berlutut di bawah langit. Aku harus menjatuhkan pilihan, hari esok dengan tanganku sendiri akan kusayat tubuh kecil putraku, ketika pisau itu menyayat sang anak, hati sang Bapa tengah berlumur kepedihan. Malam itu, kutatap wajah Ishak, tangis berderai ketika tangan keriputku mengusap pipi sang bocah. Hatiku kini harus memilih, malam sunyi itu aku harus merangkai sebuah keputusan, “taat kepada Allah” atau “memberontak kepada-Nya.” (Kejadian 22: 1-3)

‘Sang anak ini lahir ketika masa tuaku,’ “ Aku sadar bahwa secara manusia tak mungkin aku dapat memilikinya, apalagi berasal dari benihku sendiri.’ “Aku sadar darimana si anak ini berasal, dia adalah pemberian-NYA, dia adalah anugerah dari Dia.” Salahkah apabila yang sesungguhnya memiliki anak ini akan kembali memintanya? “Salahkah apabila yang menaruh nafas di dada bocah ini akan mengambilnya?” “Benarkah apabila aku mempertahankan anak ini, bukankah sesungguhnya dia bukan milikku, hidupnya adalah anugerah Allah.” Akhirnya aku menutup malam itu dengan mata tak tertutup, sebuah keputusan meluncur dalam hatiku, “Tuhan aku akan setia pada-Mu, itu berarti aku akan mempersembahkan anak ini kepada-MU.”

Matahari terbit menyeruak di antara jendela-jendela bumi. Aku terbangun, pisau sudah siap digenggam. Hari ini dengan pedih menyayat batin, ku berangkat untuk menyembelih dengan tanganku sendiri anakku. Perjalanan dimulai sudah, “Bapa kemana kita hendak pergi?” suara polos Ishak merobek hatiku dengan pertanyaan itu. “Kita akan mempersembahkan Korban anakku,” jawabku dengan tatapan yang kulemparkan ke arah lain. Mungkin sederet pertanyaan lain Ishak sudah tak mampu lagi kujawab. Kami kini pergi ke bukit pengorbanan bersama (Kejadian 22: 4 -5)

Di kaki bukit itu Aku meminta pembantuku untuk berhenti. Aku mau hanya dengan sang anak, Ishak. Tak layak bagiku mrngijinkan orang lain untuk tahu semuanya itu. Mungkinkah setelah aku menikam Ishak, aku akan justru menikam dadaku sendiri? Sedih dan lumuran air mata membayangi langkahku. Satu demi satu kaki bukit terlewati, kini kami berada di puncak, adegan pengorbanan akan segera digelar, si anak akan mati di tangan sang bapa yang mencintainya. “Bapa mana domba yang akan dikorbankan” Ishak kembali bertanya dengan nada polos. ((kejadian 22: 7) “Allah akan menyediakan untuk kita, anakku” Jawabku dengan bibir bergetar. (Kejadian 22: 8) Apakah jawaban yang meluncur barusan aku sadari? Imankah itu? Atau luapan emosi yang sudah tak terbendung lagi? Tak ada yang tahu, baik diriku atau Ishak. Kemudian aku segera mengikat kaki dan tangan ishak dan kubaringkan dia di tumpukan kayu yang akan menghanguskan tubuh kecilnya. Ishak hanya terdiam, dia tak tahu apa yang diperbuat olehku, mungkinkah dia kini sadar bahwa korban yang dimaksud adalah dirinya sendiri? Ya.. dia adalah domba yang aku pernah maksudkan

Aku berdiri dengan lunglai, hanya kesetiaan yang berlumuran air mata kini ada padaku. Pisau sudah terhunus di tangan, hanya butuh beberapa menit, sang anak akan mati di tanganku. Kesetiaan yang mahal akan kubayar lunas, mungkin kesetiaan terakhir yang akan kulakukan. Sesudah itu aku akan menghujamkan pisau itu ke dadaku sendiri, aku akan mati dengan sedih yang mendalam. Pisau teracung dan segeralah tamat Ishak di tanganku. (Kejadian 22: 10) :”........Tunggu Abraham, hentikan......!” Suara menggelegar memecah kesunyian bukit itu, suara Allah yang bergema menerobos kepiluan hatiku. “Jangan coba bunuh anak itu!” suara yang sama yang pernah memerintahkan aku untuk merenggut nyawa sang anak. “Sebab telah kuketahui sekarang, bahwa engkau taat kepada Allah dan engkau tidak segan-segan menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku.” (Kejadian 22: 11-12). Suara itu adalah suara Allah sendiri yang tengah berfirman dengan kekuatan dahsyat. Allah tahu benar bahwa aku setia kepada-Nya, kesetiaan yang Dia sebenarnya sudah tahu sebelum memberikan titah itu kepadaku. Allah dengan tangannya sendiri akhirnya menyediakan korban bagi diri-Nya sendiri. Seekor anak domba sebagai ganti Ishak, seekor korban yang pernah terlontar dari mulut seorang bapa yang setia, yang barusan menghunus pisaunya.

Aku kini sadar, bahwa Allah yang kuikuti selama ini dengan setia, adalah Allah yang juga setia kepadaku. Allah hanya menginginkan kesetiaanku, yang terlahir dari pilihanku. Sebuah pilihan hadir mewujudkan dengan jujur arti pilihan tersebut, yaitu sebuah kesetiaan. Aku memilih untuk setia, bukan karena aku memandang diriku sendiri, tetapi memandang Allah yang tidak pernah mengecewakanku. Apabila aku mau berkata “Allah ataukah diriku sendiri?” Aku akan memilih “ALLAH.”

Kehidupan kita berliku, bagai lorong jalan yang bercabang di depan. Apa yang kita temui seringkali adalah pilihan-pilihan. Mampukah kita memilih apa yang benar, tepat dan baik? Sementara kita tidak tahu pasti apa yang terjadi di depan. Sanggupkah kita membuat pilihan yang terbaik? Sanggupkah kita mempertahankan iman kita dalam pilihan-pilihan hidup ini? Kita hanya mampu memilih yang terbaik dan memuliakan Allah, bila kita selalu dekat dengan Allah itu sendiri. Abraham mampu memilih yang terbaik, karena dia berada dekat dengan Allah. Keputusan pilihannya terdapat campur tangan Ilahi yang menopangya. Penggalan Darma Abraham yang kita dengar tadi, biaralah mengajar kita untuk mampu membuat pilhan yang terbaik dalam hidup ini. Pilihan itu mencermikan diri kita sendiri. Kestiaan kepada Allah adalah sebuah pilihan. Pilihan yang terbaik hanya terjadi bila kita bersandar kepada tangan Allah .