Senin, 16 Maret 2009

Resep Awet Waras

“Setiap orang yang mau mengikut Aku ia harus menyangkal dirinya …”

(Matius 16: 25)

jaman saiki jaman edan, lek ora edan, ora bakal keduman,” Demikian tutur Ranngga Warsita menyingkapi kondisi jaman sekarang. Banyak orang menjadi edan (tidak waras), sebab bila tidak ikut edan, maka konsekuensinya adalah tidak akan keduman (dapat bagian). Lalu “Apakah sebagai anak-anak Tuhan, supaya tetap survive, kita juga harus edan? dengan singkat dan lugas, kita pasti menjawab “TIDAK.” Namun, upaya untuk tidak campur baur dengan umat yang ketularan edannya dunia, tentunya tidak tuntas dengan hanya mengatakan “TIDAK.” Tepatnya, bagaimana cara agar tidak ikut edan alias tetap waras?”

Hal awet waras dalam pembicaraan kita kali ini tentunya sedang menunjuk pada waras spritualitasgawe-nya (soalnya, urusan sehat dalam aspek itu para dokter di Puskesmas). Jangan salah ….. orang yang waras fisiknya belum tentu waras jiwanya lho……

Beda antara orang waras dan tidak sebenarnya terletak pada eling (ingat) –nya seseorang terhadap jati dirinya, eksisitensinya sebagai manusia. Tentu dong.. bila dia selalu eling (ingat) terhadap jati dirinya sebagai manusia, ia pasti akan berlaku sebagai manusia: bertutur kata sebagai manusia yanbg bermartabat, mengembangkan welas asih (belas kasih), berbudi pekerti, bahkan berpakain ala manusia (yang waras biasanyanya kan tidak berpakaian yang tidak bertentangan dengan harkat martabatnya, yang pakai baju suaaangat minimmm..... mungkin juga kurang waras he… he….),

Waras ditandai dengan selalu eling (Ingat), lalu bagaimana supaya tetap eling diri? Tuhan Yesus Kristus menyuarkan,” orang yang mau ikut aku haruslah menyangkal dirinya ..,” (Mat. 16: 25). Lho…..apaan kaitan pernyataan ini dengan soal tetap waras diri? Abraham Maslow, berkomentar “bahwa kebutuhan manusia yang tertinggi sebenarnya adalah pengakuan atau ingin diakui.” Nah…bila pengakuan menjadi prioritas tertinggi tentu konsekuensinya adalah “EGO AKU” yang harus diakui dan DIA (Allah) serta KAMU (orang lain) harus ditindas. Kepentingan diri terwujud dan kepentingan orang lain harus sujud. Caranya bisa main srudak-sruduk, gasak teman sendiri, hancurin oran lain, pokoknya DIRIi ini jaya. Bila itu terjadi, lama-lama “Sriatun” atau “Sri utami” yang lugu bisa toh bisa jadi “Srigala” kan? Apa yang seperti itu masih dapat dikatain eling terhadap sifatnya sebagai manusia yang welas dan asih (belas dan kasih).

Nasihat untuk menyangkal diri menolong kita tetap eling terhadap diri kita sebagai manusia? Menyangkal diri tidak bermaksud menyangkal fisik (puasa, mati raga, dll), namun hal ini menyuarakan kepada penyangkalan Ego kita. Konteks nats Matius 16: 25, sedang mengetengahkan episode jalan salib yang akan segera dimulai Yesus. Menyingkapi itu, murid-murid Yesus tidak setuju, dan berharap hal itu tdak terjadi. Yesus membantah tegas, mengatakan bahwa jalan yang IA tempuh tidak hanya menjajikan kemakmuran saja, namun juga mengijinkan salib atau derita. Hal itu hanya bisa dilalui bila seseorang menyangkal dirinya, membuang egonya dan menempatkan Tuhan Yesus sebagai prioritas dan otoritas tertinggi. Pada giliranya Kita akan mampu menyelami bahwa Allah yang berdaulat (bukan ego) kita melakukan apapun demi Dia, untuk kemuliaan-NYa dan bukan demi kepentingan ego kita semata. Akhirnya kita pun akan menghargai sesama, bekerjasama untuk kemuliaan Allah. Itu adalah manusia yang waras: manusia yang hidup demi Allah dan mengasihi sesamanya. Nah…….pertanyaan sekarang, “Apakah kita sudah waras……….?”

Bagi saya spritualitas kekristenan adalah menampilkan kehidupan yang utuh dalam realita sehari-hari sebagai insan ilahi. Senantiasa menyadari fitrah diri sebagai ciptaan sang Ilahi dan mewujudkan laku hidup yang menjiwai fitrahnya, berarti hidup dalam spritualitas sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar