SESAJI_secarik santi aji
Senin, 15 Agustus 2011
Dimana sebuah Jawaban
Dan berhentilah melangkah bersamaku
Hanya dalam sepi diriku dapat berkata
Hanya dalam diam kata-kataku kan terucap
Selaksa langkah, kan berhenti
Di tapal jejak yang sama ku memulai
Bila banyang punya lelah
Mungkin kan berhenti bersama langkahku
Apa arti sebuah perjalanan?
Bukankah semuanya kan berhenti…
Namun kapan perhentian kan usai
Bila langkah lelah tak mampu capai ..
Sekali lagi.. hanya diam nan mampu menjawab
Menggiring langkah .. bersama langkah waktu
Jalanan masih sama… tergeletak rebah
Usang terinjak.. mendekap ingatan nan terlupakan
Merapatlah wahai malam…
Berhentilah bersamaku..
Di sini, di dalam kediaman seribu arti
Aku berdiri menunggu pagi…
Berdirilah bersamaku..
Mari mencari sebuah jawaban.. bersamaku..
Minggu, 10 April 2011
Titip pesan tuk Nyawa dan Jiwa,
Dari waktu dan fana
Bayangku, jiwaku, nyawaku
Bersatu dalam kebisuan
Berpadu tanpa rupa
Ragaku, nafasku, langkah ku
Berjalan merangsak menapak
Menghentikan sisa langkah
tak mampu kembalikan waktu
tak mampu sirnakan fana
tak mampu satukan bayangku, jiwaku dan nyawaku.
Bila bayang dapat gantikan raga lelah,
Kan ku teruskan langkah,
Bila jiwa tak terpasung nyawa,
Jalan fana kan terhenti
Tak ada sirnanya waktu, tak ada waktu sirna
Tak ada waktu
JIwaku berkatalah tanpa kata,aku tak dapat berkata
Nyawaku suarakan kebisuanmu,aku membisu bersammu
Bayangku bawalah langkahku, langkahku kan membawa langkahmu
Aku terdiam dalam kebisuan dan di batas langkah nan tanpa batas.
Bisahkah engkau mengerti dan dapatkah aku memahami
Dimana ku dapat memahami arti dan dimana engkau mengerti
Bertanyalah kepada bayang, jiwa dan nyawamu
Dan ku kan bertanya kepada bayang, jiwa dan nyawaku
Serahkan kepada fananya hidup
Disirnanya fana, waktu, bayang, jiwa dan nyawa kan bersatu
Dalam fananya waktu dan waktu nan tak terbatas
Kita bertemu bersama jiwa dan nyawa.
Tanpa lagi bayangan, tanpa harus hentikan waktu
Sabtu, 26 Maret 2011
Langkahku dan Malam
Aku membuntuti langkah malam
Bersama bayang diri yang tanpa raga
Dengan raga yang mencekram rindu sepi
Di jalan setapak , ujung lorong waktu nan tak berujung
Dalam sendiri jiwa
Dalam kediaman nayawa
Pada langkah yang kaku
Pada redup mata memaku
Gejolak bertarung dengan dada resah
Mendesak jiwaku sesah
Bantingkan diri dalam keterpakuan
Langkahku patah, hanya ada sisa asa nan tersisa
Ku ingin renggut sayapmu malam
Terbangkan diriku
Kuingin hentikan langkahmu malam
Kuingin berdiri hentikan jalanku dan jalanmu
Kuingin memaku dirmu dalam keterpakuanku
Kamis, 27 Agustus 2009
Setapak Jalan
Menghempaskan tatapan kebelakang,
menyimak guratan waktu nan tak terulang,,
bekas-bekas langkah diri masih terpahat di sana
tergeletak usang Dan akan kembali kupahat bersama langkah rapuhku
Jalan setapak hidup,
Dimana Catatan lusuh jiwaku tergeletak
Kau pungut dirku dalam fananya waktu
Dan Kau papah jalanku menyusuri jalanMU Tuhan
Memembagi harapan bagi jiwa nan lelah
Dengan kekuatan diri
Mampukah kulanjutkan langkahku?
Engkau dapat bertanyakan pada debu bisu,
“Di akan menjawabanya, TIDAK.”
Atau mungkin engkau kan mencoba bertutur dengan renungan malam sunyi,
“Hanya kediaman nan kau kan dapati,”
Hanya bantahan keraguan kan kau kegenggam di tanganmu
BIla mampu kutersukan Langkah, ini semua hanya anugerah
tangan-Mu nan tersembunyi dibalik kekuatan fajar,
dan rengkuhan nafas malamlah,
nan memapah jalanku melewati tebing terjal kehidupan
dan Menyeret raga lelah menyusuri jalan pengabdian
meneruskan langkah, menyuarakan sabda harapan bagi jiwa lelah
Mermbagikan seteguk air hidup, bagi mereka nan terpasung air mata sesah
Di atas lutut nan lusuh, ku bersujud
Dalam ucap serak nan terbalut bisunya air mata
Dan dengan kata-kata nan terpasung diam
Aku menghadapkanMu wahai sang penggenggam waktu
Di sana, di dalam bisu suara kalbu ku
Aku mempersembahkan pengabdian jiwaku
Ketika aku Hidup dan ketika nafasku terhempas
Aku kan berdiri disini, di jalan Mu Tuhan
Kamis, 30 April 2009
Sisa Langkah.....
Temaram menyusul langkah dingin malam,
Saat kebisuan merajut kata bersama kesunyian
Hanya hasutan penat jiwa nan bersemayam
Dalam jiwa nan terpasung dada resah.
Harapan bergelut bersama kata-kata
Bersama langkah waktu
Jiwa menapak memahat hari
Di sini...
Di batas malam kuingin berhenti
Tanggalkan jejak sesah
Rebahkan harapan lelah
Adakah batas bagi jiwa?
Adakah langkah akhir bagi hidup?
Adakah ujung jalan bagi langkah waktu?
Dan adakah Jeruji bagi hari?
Kenapa ku harus lanjutkan langkah
Bila tanpa akhir...
Mustikah kulanjutkan perjalanan jiwa
Mengembara bersama sayap angin
Menyeret hidup di jalan usang...
Ku berdiri menantang langit...
Ku berdiri di atas jejak usang...
Jejak waktu di atas debu.......
Jejak bisu
Dimana aku ingin hentikan langkah
Dimana aku tak mampu berhenti
Senin, 27 April 2009
Batas
Dimanakah ujung langit bersembunyi
Berada di tempat mana kaki bumi berpijak
Bila timur sebenarnya hanya barat
Dan ujung utara hanya membelakangi selatan sana
Dimanakah batas?
Dan dimana jeruji waktu dipasakkan?
Bukankah semua tanpa batas?
Siapa akan memaksa menghentikan langkah?
Siapa yang menentukan arah?
Dan menghentikan hari dengan langkah kita?
Tanpa jawab, usai di sini
Tak berhenti, namun tak segera berlalu
Hanya waktu yang simpan jawaban
Namun waktu selalu bisu
Dia hanya punya diam kelam
Jalan tanpa arah, ujung tanpa penghujung
Hanya debu sekarat yang terpaku langkah usai
Kemana raga lelah kan berhenti
Dan dimana jiwa sesah menyandarkan diri
Di relung dalam sana
Dalam ke dalaman raga jiwa bersembunyi
Lubuk batin nurani diri berdiam
Di sanalah tanpa akhir kata jiwa berkata
Di lubuk sana batas lenyap
Memandang jauh tanpa seutas batas
Di sana kan terjawab.
Sabtu, 04 April 2009
Diriku sudah tidak peduli akan keadaanku yang sudah renta ini, Aku sadar mungkin setiap kali kugendong Ishak, orang banyak akan tersenyum keheranan dengan mereka. “Lihatlah si kakek dan cucu, yag ternyata adalah pasangan bapak dan anak.” Aku sekali lagi tak peduli, yang ada dalam benakku terdalam hanya perasaan bahagia, ada sinar kebanggaan seorang ayah yang terpancar dalam diriku apabila bersama anak kecil itu. Anak itu anak perjanjian, anugerah besar yang ku terima langsung dari Allah. Rasa syukur bercampur haru, heran bercampur kagum, kebanggaan dan kekaguman kepada Allah senantiasa terpancar bila aku memandang si kecil Ishak. Bocah ini, senantiasa mengingatkan diriku akan perjalanan panjang iman yang kutempuh. Untuk menimang bocah kecil ini, berapa ribu mil yang harus aku tempuh. Untuk bocah ini berapa banyak sudah tetesan air mata yang bercampur putus asa merobek batinku. Terkadang aku menyerah dan mengambil jalan pintas, namun sang putra perjanjian belum hadir. Sungguh telah kutunggu jabang bayi ini berpuluh-puluh tahun (Kejadian 18-20).
Ketika bocah itu di dekapanku, seribu harapan terbesit di dadaku. Hatiku berjanji, tak seincipun dari kulitmu yang akan tersentuh oleh apa pun yang membahayakanmu. “Apabila boleh memilih nyawaku lebih baik sebagai taruhan sendiri untuk melindungimu,” hatiku senantiasa mengungkap itu bila dia bersama sang anak kesayangan. Usianya renta bagiku sudah tidak berarti lagi bila di banding dengan bocah ini, seribu harapan kugantungkan dalam diri Ishak, sang putra tunggalku. Dia pewaris keluarga besarku, dinastiku.
Hari berlalu, kudapati diriku semakin menua, namun sang bocah kini bertumbuh remaja. Hari-hari bahagia yang kami pahat kini nampaknya akan segera sirna memudar, kebahagiaan itu akan segera terenggut. Si setan jahatkah yang merancangnya? Atau mungkin ketidaksenangan para lawan sainganku? Tidak....! Kebahagiaan tersebut justru akan terenggut oleh tangan DIA sendiri yang pernah memahat si anak itu dalam rahim ibunya, Sara. Allah yang menjanjikan sang anak kecil kepadaku, kini berhadapan dengan ku untuk meminta si anak itu menjadi korban untuk Dia. Apakah Dia sedang cemburu kepadaku karena hari-hariku kini terlewatkan untuk si anak kesayangan itu? Lupakah sudah aku membakar korban untuk-NYA, sehingga Allah harus meminta korban dari ku.? Ataukah Allah hanya sekedar mempermainkan hatiku? Satu hal yang Allah mau dari diriku adalah “kesetiaan.” Namun masuk akalkah dan terlebih apakah masuk hati niata-NYA tersebut? Apakah DIA lupa berapa ribu mil perjalanan yang harus kutempuh bersama istri dan anak buahku, bukankah itu tiada lain adalah kesetiaan...?. Berapa waktu yang sudah kuberikan untuk melayani Dia, berapa banyak air mata yang sudah mengalir di pipi tuaku ini dan berapa sudah kekhawatiran yang telah berkecamuk dalam hatiku, itu semua untuk menuruti perintah, untuk sebuah kesetiaan. Kini hatiku tengah berada ujung tebing iman, rasanya aku siap meluncur menjatuhkan diri dalam ketidaktaatan.
Apakah sebuah keadilan bila sang anak yang ku dapatkan setelah melalui berbagai kesulitan, kini direnggut? Apakah Allah berbelas kasih apabila dengan tega menuntut kembali sang anak untuk jadi korban? Apakah ini dapat dikatakan sebagai ketaatan apabila yang Dia mau adalah pengingkaran terhadap janji yang pernah diberi? Gemuruh pertanyaan itu meyeruak di malam sunyi tatkala kakiku gemetaran berlutut di bawah langit. Aku harus menjatuhkan pilihan, hari esok dengan tanganku sendiri akan kusayat tubuh kecil putraku, ketika pisau itu menyayat sang anak, hati sang Bapa tengah berlumur kepedihan. Malam itu, kutatap wajah Ishak, tangis berderai ketika tangan keriputku mengusap pipi sang bocah. Hatiku kini harus memilih, malam sunyi itu aku harus merangkai sebuah keputusan, “taat kepada Allah” atau “memberontak kepada-Nya.” (Kejadian 22: 1-3)
‘Sang anak ini lahir ketika masa tuaku,’ “ Aku sadar bahwa secara manusia tak mungkin aku dapat memilikinya, apalagi berasal dari benihku sendiri.’ “Aku sadar darimana si anak ini berasal, dia adalah pemberian-NYA, dia adalah anugerah dari Dia.” Salahkah apabila yang sesungguhnya memiliki anak ini akan kembali memintanya? “Salahkah apabila yang menaruh nafas di dada bocah ini akan mengambilnya?” “Benarkah apabila aku mempertahankan anak ini, bukankah sesungguhnya dia bukan milikku, hidupnya adalah anugerah Allah.” Akhirnya aku menutup malam itu dengan mata tak tertutup, sebuah keputusan meluncur dalam hatiku, “Tuhan aku akan setia pada-Mu, itu berarti aku akan mempersembahkan anak ini kepada-MU.”
Matahari terbit menyeruak di antara jendela-jendela bumi. Aku terbangun, pisau sudah siap digenggam. Hari ini dengan pedih menyayat batin, ku berangkat untuk menyembelih dengan tanganku sendiri anakku. Perjalanan dimulai sudah, “Bapa kemana kita hendak pergi?” suara polos Ishak merobek hatiku dengan pertanyaan itu. “Kita akan mempersembahkan Korban anakku,” jawabku dengan tatapan yang kulemparkan ke arah lain. Mungkin sederet pertanyaan lain Ishak sudah tak mampu lagi kujawab. Kami kini pergi ke bukit pengorbanan bersama (Kejadian 22: 4 -5)
Di kaki bukit itu Aku meminta pembantuku untuk berhenti. Aku mau hanya dengan sang anak, Ishak. Tak layak bagiku mrngijinkan orang lain untuk tahu semuanya itu. Mungkinkah setelah aku menikam Ishak, aku akan justru menikam dadaku sendiri? Sedih dan lumuran air mata membayangi langkahku. Satu demi satu kaki bukit terlewati, kini kami berada di puncak, adegan pengorbanan akan segera digelar, si anak akan mati di tangan sang bapa yang mencintainya. “Bapa mana domba yang akan dikorbankan” Ishak kembali bertanya dengan nada polos. ((kejadian 22: 7) “Allah akan menyediakan untuk kita, anakku” Jawabku dengan bibir bergetar. (Kejadian 22: 8) Apakah jawaban yang meluncur barusan aku sadari? Imankah itu? Atau luapan emosi yang sudah tak terbendung lagi? Tak ada yang tahu, baik diriku atau Ishak. Kemudian aku segera mengikat kaki dan tangan ishak dan kubaringkan dia di tumpukan kayu yang akan menghanguskan tubuh kecilnya. Ishak hanya terdiam, dia tak tahu apa yang diperbuat olehku, mungkinkah dia kini sadar bahwa korban yang dimaksud adalah dirinya sendiri? Ya.. dia adalah domba yang aku pernah maksudkan
Aku berdiri dengan lunglai, hanya kesetiaan yang berlumuran air mata kini ada padaku. Pisau sudah terhunus di tangan, hanya butuh beberapa menit, sang anak akan mati di tanganku. Kesetiaan yang mahal akan kubayar lunas, mungkin kesetiaan terakhir yang akan kulakukan. Sesudah itu aku akan menghujamkan pisau itu ke dadaku sendiri, aku akan mati dengan sedih yang mendalam. Pisau teracung dan segeralah tamat Ishak di tanganku. (Kejadian 22: 10) :”........Tunggu Abraham, hentikan......!” Suara menggelegar memecah kesunyian bukit itu, suara Allah yang bergema menerobos kepiluan hatiku. “Jangan coba bunuh anak itu!” suara yang sama yang pernah memerintahkan aku untuk merenggut nyawa sang anak. “Sebab telah kuketahui sekarang, bahwa engkau taat kepada Allah dan engkau tidak segan-segan menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku.” (Kejadian 22: 11-12). Suara itu adalah suara Allah sendiri yang tengah berfirman dengan kekuatan dahsyat. Allah tahu benar bahwa aku setia kepada-Nya, kesetiaan yang Dia sebenarnya sudah tahu sebelum memberikan titah itu kepadaku. Allah dengan tangannya sendiri akhirnya menyediakan korban bagi diri-Nya sendiri. Seekor anak domba sebagai ganti Ishak, seekor korban yang pernah terlontar dari mulut seorang bapa yang setia, yang barusan menghunus pisaunya.
Aku kini sadar, bahwa Allah yang kuikuti selama ini dengan setia, adalah Allah yang juga setia kepadaku. Allah hanya menginginkan kesetiaanku, yang terlahir dari pilihanku. Sebuah pilihan hadir mewujudkan dengan jujur arti pilihan tersebut, yaitu sebuah kesetiaan. Aku memilih untuk setia, bukan karena aku memandang diriku sendiri, tetapi memandang Allah yang tidak pernah mengecewakanku. Apabila aku mau berkata “Allah ataukah diriku sendiri?” Aku akan memilih “ALLAH.”
Kehidupan kita berliku, bagai lorong jalan yang bercabang di depan. Apa yang kita temui seringkali adalah pilihan-pilihan. Mampukah kita memilih apa yang benar, tepat dan baik? Sementara kita tidak tahu pasti apa yang terjadi di depan. Sanggupkah kita membuat pilihan yang terbaik? Sanggupkah kita mempertahankan iman kita dalam pilihan-pilihan hidup ini? Kita hanya mampu memilih yang terbaik dan memuliakan Allah, bila kita selalu dekat dengan Allah itu sendiri. Abraham mampu memilih yang terbaik, karena dia berada dekat dengan Allah. Keputusan pilihannya terdapat campur tangan Ilahi yang menopangya. Penggalan Darma Abraham yang kita dengar tadi, biaralah mengajar kita untuk mampu membuat pilhan yang terbaik dalam hidup ini. Pilihan itu mencermikan diri kita sendiri. Kestiaan kepada Allah adalah sebuah pilihan. Pilihan yang terbaik hanya terjadi bila kita bersandar kepada tangan Allah .
Dimana sebuah Jawaban
Merapatlah wahai malam…. Dan berhentilah melangkah bersamaku Hanya dalam sepi diriku dapat berkata Hanya dalam diam kata-kataku kan teruc...
-
Menunggu Pagi Fajar yang memenggal langit hening Usai dikubur senja tadi Panas hari nan mencakar wajah bumi pun Kini tela...
-
...
-
Batas Dimanakah ujung langit bersembunyi Berada di tempat mana kaki bumi berpijak Bila timur sebenarnya hanya barat Dan ujung utar...